Sabtu, 06 Juni 2020

Memaknai Inzal dan Tanzil dalam berinteraksi dengan Al-Qur'an

Istilah Inzal adalah istilah yang digunakan untuk menginformasikan bahwa Al-Qur'an diturunkan sekaligus pada malam Lailatul Qadar dari langit ketujuh (Lauh Mahfuz) menuju langit dunia (Baitul Izzah). Di jelaskan bahwa malam tersebut menjadi malam paling mulia. Dimana kala kita beribadah di malam itu menjadi ibadah yang bernilai 1000 bulan atau 83 tahun. Setiap Ramadhan kaum muslimin berlomba-lomba untuk mendapatkan malam itu.
Masih dalam proses turunnya Al-Qur'an, namun masuk fase dari langit dunia (Baitul Izzah) kepada Rasulullah Saw. Diperantarai oleh malaikat Jibril yang kemudian menjadi pimpinan para malaikat. Di dalam hati Rasulullah telah terinstalasi al-Qur'an maka Rasulullah menjadi Rasul yang amat mulia. Fase ini disebut dengan istilah Tanzil.

Jika kita cukupkan sampai sini, bisa kita lihat bahwa semua yang lekat interaksinya dengan Al-Qur'an menjadi sangat mulia. Sebab cipratan kemuliaan itu mengenai siapa saja dan apa saja yang dilaluinya.

Di Ramadhan kita berupaya untuk mengkhatamkan Al-Qur'an sebanyak-banyaknya, kita pun membaca Al-Qur'an sebanyak-banyaknya. Namun sadarkah kita, bahwa aktivitas tersebut mengakibatkan kita tidak begitu mendapatkan rasa tadabbur. Kecepatan bacaan kita yang mengejar target selesai membuat kita kehilangan rasa nikmat dari setiap ayat dan mendapatkan nikmat justru setelah membacanya.  Hal ini sesuai dengan proses Inzal, dimana hari-hari diisi dengan tujuan mengkhatamkan keseluruhan.
Pasca Ramadhan kita tidak dituntut untuk banyak mengkhatamkan tetapi di tuntut untuk tadabbur. Sebagaimana Tanzil nya Al-Qur'an selama 23 tahun. Proses panjang tersebut adalah proses tadabbur. Al-Qur'an diturunkan secara bertahap adalah agar lebih mudah di tadabburi, agar setiap tadabbur ayat lebih mudah terinstalasi di dalam diri. Tentu tidak selesai tadabbur dalam 11 bulan. Sebagaimana para sahabat pun berproses selama 23 tahun. Sadarkah kita bahwa proses ini justru meminta kita agar merasakan nikmatnya waktu membaca bukan pasca membaca.
Inzal dan Tanzil memberikan kita pemaknaan mendalam terkait interaksi dengan Al-Qur'an. Bagaimana cara kita tetap bisa merasakan Ramadhan sepanjang tahun. Sebab apa yang telah diturunkan di bulan itu ada bersama kita, dekat dengan kita. Tidak lain adalah agar kita selalu menjadikan hari-hari bersamanya. Menjadikan bulan al-Qur'an sepanjang tahun sebagai bentuk mengamalkan makna Tanzil setelah Inzal. Jadikanlah Ramadhan Inzal dan Tanzil di 11 bulan lainnya. Jika Rasulullah saja butuh 23 tahun untuk Tanzil maka berikan sisa umur kita untuk meneladaninya.

Dan lagi-lagi mari kita lihat, generasi awal itulah yang menjadi generasi terbaik sebab dilalui oleh al-Qur'an pertama kali. Menjadi generasi pertama yang Tanzil dengan Al-Qur'an. Ikutilah mereka agar kemuliaan mereka terinstalasi kepada kita melalui tadabbur.

Kamis, 04 Juni 2020

Mengenal Ulama Al-Qur'an (3)

Imam Nafi' al Madani

Nama lengkap beliau adalah Nafi' bin Abdurrahman bin Abi Nu'aim Al Laitsi Al Kanani. Berasal dari Asbahan yang terkenal dengan kulit hitam legamnya namun wajah beliau amat berseri dan amat baik bacaan Al-Qur'annya. Lahir pada tahun 70n H dan wafat pada 169 H. Seorang pakar qiraat ini telah belajar pada 70 tabi'in. Ia menghabiskan hidupnya dengan mengajar Al-Qur'an terutama mengenai qiraat. Diriwayatkan dari murid-muridnya bahwa ia mengajar selama 70 tahun di Madinah. Terkenal pula bahwa setiap kali ia berbicara tercium aroma harum dari mulutnya padahal ia sama sekali tidak menggunakan parfum. Imam Mujahid memasukkan Imam Nafi' pada barisan ulama qiraat dan menempatkannya pada urutan pertama. Alasan Imam Mujahid adalah sebab beliau tinggal di Madinah dan itulah cara memuliakan Rasulullah . Sedangkan alasan memilihnya masuk dalam barisan imam qiraat adalah sebab 4 hal, yaitu:
1. Beliau memiliki sanad qiraat yang sangat jelas. Beliau ada pada tingkatan ke 4 yakni, Rasulullah, Ubay bin Ka'ab, Abu Hurairah dan Imam Nafi'.
2. Bersifat tsiqqah/terpercaya. Kita tahu bahwa sifat ini amat penting dalam keilmuan Islam. Beliau 'alim dan mengajar sangat lama sehingga beliau amat terpercaya.
3. Beliau memiliki metodologi sendiri dalam mengajarkan qiraatnya. Beliau biasa mengajar Ba'da subuh kepada murid-muridnya dan beliau memilih untuk mengajarkan sesuai dengan urutan kedatangannya. Adapun cara mengajarkan nya adalah talaqqi/talqin sebanyak 30 ayat setiap hari. Beliau belajar dari 70 tabi'in dan amat selektif dalam memilih bacaan, bukan karena bacaan tabi'in salah namun beliau memilih mayoritas bacaan gurunya yang kemudian ia ajarkan kepada murid-muridnya.
4. Ilmu beliau sangat dalam di samping itu beliau juga ahli bahasa dan sejarah bahasa Arab.

Demikian qiraatnya yang hingga kini masih mewarnai dunia keislaman. Kita dapati bacaan Qur'an beliau dari dua orang rawinya yaitu Imam Qalun dan Warsy.

Selasa, 02 Juni 2020

Qashasul Qur'an


Pengertian Qashash

Al-Qur'an telah menyebutkan kata qashash dalam beberapa konteks, pemakaian dan tashrif dalam bentuk fi'il madhi (kata kerja lampau), fi'il mudhari' (kata kerja sedang/akan) dan fi'il amr (kata kerja perintah), dan dalam bentuk mashdar (kata benda).
Secara bahasa kata al-qashshu berarti mengikuti jejak atau mengungkapkan masa yang lalu. Sedangkan al-qashash adalah bentuk mashdar dari qashsha-yaqushshu-qashashan, sebagaimana yang diungkapkan dalam al-Qur'an:
….فَٱرۡتَدَّا عَلَىٰٓ ءَاثَارِهِمَا قَصَصٗا ٦٤
"...Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula" (al-Kahfi [18]: 64)

Al-Qashash dalam al-Qur'an sudah pasti tidak fiktif, sebagaimana yang ditegaskan dalam al-Qur'an:
إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ ٱلۡقَصَصُ ٱلۡحَقُّۚ ….٦٢
"Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar..." (Ali Imran [3]: 62)

لَقَدۡ كَانَ فِي قَصَصِهِمۡ عِبۡرَةٞ لِّأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِۗ ١١١
"Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu benar-benar terdapat pengajaran bagi orang-orang yang berakal...." (Yusuf [12]: 111)

Allah Ta'ala juga memberi karakter terhadap kisah al-Qur'an sebagai suatu kisah terbaik sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Yusuf [12]: 2-4
 إِنَّآ أَنزَلۡنَٰهُ قُرۡءَٰنًا عَرَبِيّٗا لَّعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ ٢ نَحۡنُ نَقُصُّ عَلَيۡكَ أَحۡسَنَ ٱلۡقَصَصِ بِمَآ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانَ وَإِن كُنتَ مِن قَبۡلِهِۦ لَمِنَ ٱلۡغَٰفِلِينَ ٣ إِذۡ قَالَ يُوسُفُ لِأَبِيهِ يَٰٓأَبَتِ إِنِّي رَأَيۡتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوۡكَبٗا وَٱلشَّمۡسَ وَٱلۡقَمَرَ رَأَيۡتُهُمۡ لِي سَٰجِدِينَ ٤

"Sesungguhnya kami menurunkannya berupa Al-Qur'an dengan berbahasa Arab agar kamu memahaminya. Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al-Qur'an ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (kami mewahyukan)nya adalah termasuk orang yang belum mengetahui. (Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku."

                        Secara terminologi, qashash berarti berita-berita mengenai suatu permasalahan dalam masa-masa yang saling berurutan. Al-Qur'an selalu menggunakan terminologi qashash untuk menunjukkan bahwa kisah yang disampaikan itu benar dan tidak mengandung kemungkinan salah atau dusta. Sementara kisah-kisah lain yang mengandung kemungkinan salah dan benar biasanya bentuk jamaknya diungkapkan dengan istilah qishash.
                        Imam ar-Raghib al-Isfahani mengatakan dalam kitab mufradatnya (al-Mufradat fii Gharib Al-Qur'an) tentang kata ini (qashash), "Al-Qashshu berarti 'mengikuti jejak'. Dikatakan, Qashashtu atsarahu'' Saya mengikuti jejaknya'. Al-qashash ialah berarti jejak (atsar)[1].
                        Manna Khalil al-Qattan mengungkapkan bahwa qashash al-Qur'an adalah pemberitaan mengenai hal ihwal umat yang telah lalu, nubuat (kenabian) yang terdahulu, kejadian-kejadian bencana, sejarah umat, dan disebutkan kota-kota maupun perkampungan, dan mengikuti jejak setiap kaum serta peristiwa-peristiwa yang telah, sedang, dan akan terjadi.[2]

Macam-Macam Qashash

Adapun macam-macam kisah dalam al-Qur'an terbagi tiga, yaitu[3]:
1.      Kisah Para Nabi Terdahulu
       Kisah ini mencakup dakwah mereka pada  kaumnya, mukjizat mereka, sikap penentang para Nabi, fase dakwah dan perkembangannya, balasan terhadap orang-orang kafir dan para pendusta, seperti kisah Nabi Nuh, Ibrahim, Yusuf, Musa, Harun, Isa, Muhammad shallallahu 'Alaihi wa sallam, dan lainnya.
Contohnya: Kisah Nabi Ibrahim 'alaihissalaam dalam QS. al-Anbiya' [21]: 52-57
إِذۡ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوۡمِهِۦ مَا هَٰذِهِ ٱلتَّمَاثِيلُ ٱلَّتِيٓ أَنتُمۡ لَهَا عَٰكِفُونَ ٥٢  قَالُواْ وَجَدۡنَآ ءَابَآءَنَا لَهَا عَٰبِدِينَ ٥٣ قَالَ لَقَدۡ كُنتُمۡ أَنتُمۡ وَءَابَآؤُكُمۡ فِي ضَلَٰلٖ مُّبِينٖ ٥٤ قَالُوٓاْ أَجِئۡتَنَا بِٱلۡحَقِّ أَمۡ أَنتَ مِنَ ٱللَّٰعِبِينَ ٥٥ قَالَ بَل رَّبُّكُمۡ رَبُّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ ٱلَّذِي فَطَرَهُنَّ وَأَنَا۠ عَلَىٰ ذَٰلِكُم مِّنَ ٱلشَّٰهِدِينَ ٥٦ وَتَٱللَّهِ لَأَكِيدَنَّ أَصۡنَٰمَكُم بَعۡدَ أَن تُوَلُّواْ مُدۡبِرِينَ ٥٧
"(Ingatlah), ketika Ibrahim berkata ayahnya dan kaumnya: 'Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadah kepadanya?' Mereka menjawab: 'Kami mendapati nenek moyang kami menyembahnya'. Ibrahim berkata: 'Sesungguhnya kamu dan nenek moyangmu berada dalam kesesatan yang nyata'. Mereka menjawab: 'Apakah kamu datang kepada kami dengan sungguh-sungguh ataukah kamu termasuk orang-orang yang bermain-main?'. Ibrahim berkata: 'Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya; dan aku termasuk orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu. Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya.

2.      Kisah Al-Qur'an yang Berkaitan dengan Kejadian Masa Lalu
Seperti kisah orang-orang yang ke luar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati, Thalut dan Jalut, dua putra Nabi Adam, Ahlul Kahfi, Dzul Qarnain, Qarun, Ashab as-Sabti, Maryam, Ashabul Uhdud, Ashabul Fiil, dan lainnya.
Contoh: Kisah Qarun yang diabadikan dalam QS. Al-Qashash [28]: 76
۞إِنَّ قَٰرُونَ كَانَ مِن قَوۡمِ مُوسَىٰ فَبَغَىٰ عَلَيۡهِمۡۖ وَءَاتَيۡنَٰهُ مِنَ ٱلۡكُنُوزِ مَآ إِنَّ مَفَاتِحَهُۥ لَتَنُوٓأُ بِٱلۡعُصۡبَةِ أُوْلِي ٱلۡقُوَّةِ إِذۡ قَالَ لَهُۥ قَوۡمُهُۥ لَا تَفۡرَحۡۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡفَرِحِينَ ٧٦
                "Sesungguhnya Qarun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah), ketika kaumnya berkata kepaanya: 'Janganlah kamu terlalu bangga; Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri'."      

3.       Kisah yang Berkaitan dengan Kejadian yang Terjadi pada Masa Rasulullah
Seperti Perang Badar, Uhud dalam surah Ali Imran, Perang Hunain, Tabuk dalam surah at-Taubah, Perang Ahzab dalam surah al-Ahzab, Hijrah, al-Isra' dan yang semisal dengannya.
Contoh: Kisah tentang Perang Badar yang terekam dalam QS. Ali Imran [3]: 123-125
وَلَقَدۡ نَصَرَكُمُ ٱللَّهُ بِبَدۡرٖ وَأَنتُمۡ أَذِلَّةٞۖ فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ ١٢٣ إِذۡ تَقُولُ لِلۡمُؤۡمِنِينَ أَلَن يَكۡفِيَكُمۡ أَن يُمِدَّكُمۡ رَبُّكُم بِثَلَٰثَةِ ءَالَٰفٖ مِّنَ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ مُنزَلِينَ ١٢٤ بَلَىٰٓۚ إِن تَصۡبِرُواْ وَتَتَّقُواْ وَيَأۡتُوكُم مِّن فَوۡرِهِمۡ هَٰذَا يُمۡدِدۡكُمۡ رَبُّكُم بِخَمۡسَةِ ءَالَٰفٖ مِّنَ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ مُسَوِّمِينَ ١٢٥

"Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang  yang lemah. Karena itu bertakwalahkepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya. (Ingatlah), ketika kamu mengatakan kepada orang mu'min: 'Apakah tidak cukup bagi kamu Allah membantu kamu dengan tiga ribu malaikat yang diturunkan (dari langit)?' Ya (cukup), jika kamu bersabar dan bersiap siaga, dan mereka datangmenyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda."

Makna Pengulangan Qashash


Al-Qur'an banyak mengungkapkan kisah-kisah yang berulang-ulang di beberapa tempat. Adakalanya suatu kisah di dalam al-Qur'an terulang di tempat dan bentuk yang berbeda. Adapula kisah yang diletakkan di awal dan di akhir. Adapula kisah yang diungkapkan secara ringkas dan ada pula kisah yang di ceritakan secara detil.
Contohnya: Kisah Nabi Musa 'alaihis salam dalam QS.Thaha [20]: 9-14
 وَهَلۡ أَتَىٰكَ حَدِيثُ مُوسَىٰٓ ٩ إِذۡ رَءَا نَارٗا فَقَالَ لِأَهۡلِهِ ٱمۡكُثُوٓاْ إِنِّيٓ ءَانَسۡتُ نَارٗا لَّعَلِّيٓ ءَاتِيكُم مِّنۡهَا بِقَبَسٍ أَوۡ أَجِدُ عَلَى ٱلنَّارِ هُدٗى ١٠  فَلَمَّآ أَتَىٰهَا نُودِيَ يَٰمُوسَىٰٓ ١١ إِنِّيٓ أَنَا۠ رَبُّكَ فَٱخۡلَعۡ نَعۡلَيۡكَ إِنَّكَ بِٱلۡوَادِ ٱلۡمُقَدَّسِ طُوٗى ١٢ وَأَنَا ٱخۡتَرۡتُكَ فَٱسۡتَمِعۡ لِمَا يُوحَىٰٓ ١٣ إِنَّنِيٓ أَنَا ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعۡبُدۡنِي وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ لِذِكۡرِيٓ ١٤
"Dan apakah telah sampai kepadamu kisah Musa?. Ketika dia (Musa) melihat api, lalu dia berkata kepada keluarganya, “Tinggallah kamu (di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit nyala api kepadamu atau aku akan mendapat petunjuk di tempat api itu.”. Maka ketika dia mendatanginya (ke tempat api itu) dia dipanggil, “Wahai Musa!. Sungguh, Aku adalah Tuhanmu, maka lepaskan kedua terompahmu. Karena sesungguhnya engkau berada di lembah yang suci, Tuwa. Dan Aku telah memilih engkau, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu). Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan laksanakanlah shalat untuk mengingat Aku."

Kisah itu diulang dalam QS. An-Naml [27]: 7-8.
إِذۡ قَالَ مُوسَىٰ لِأَهۡلِهِۦٓ إِنِّيٓ ءَانَسۡتُ نَارٗا سَ‍َٔاتِيكُم مِّنۡهَا بِخَبَرٍ أَوۡ ءَاتِيكُم بِشِهَابٖ قَبَسٖ لَّعَلَّكُمۡ تَصۡطَلُونَ ٧ فَلَمَّا جَآءَهَا نُودِيَ أَنۢ بُورِكَ مَن فِي ٱلنَّارِ وَمَنۡ حَوۡلَهَا وَسُبۡحَٰنَ ٱللَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٨
"(Ingatlah) ketika Musa berkata kepada keluarganya, “Sungguh, aku melihat api. Aku akan membawa kabar tentang itu kepadamu, atau aku akan membawa suluh api (obor) kepadamu agar kamu dapat berdiang (menghangatkan badan dekat api).”. Maka ketika dia tiba di sana (tempat api itu), dia diseru, “Telah diberkahi orang-orang yang berada di dekat api, dan orang-orang yang berada di sekitarnya. Mahasuci Allah, Tuhan seluruh alam.”.
Demikian pula kisah dalam surah al-Qashash yang bercerita tentang Nabi Musa 'alaihis salam dalam episode yang sama. Pada surah an-Naml [27]: 10-11. 
وَأَلۡقِ عَصَاكَۚ فَلَمَّا رَءَاهَا تَهۡتَزُّ كَأَنَّهَا جَآنّٞ وَلَّىٰ مُدۡبِرٗا وَلَمۡ يُعَقِّبۡۚ يَٰمُوسَىٰ لَا تَخَفۡ إِنِّي لَا يَخَافُ لَدَيَّ ٱلۡمُرۡسَلُونَ ١٠ إِلَّا مَن ظَلَمَ ثُمَّ بَدَّلَ حُسۡنَۢا بَعۡدَ سُوٓءٖ فَإِنِّي غَفُورٞ رَّحِيمٞ ١١
"Dan lemparkanlah tongkatmu!” Maka ketika (tongkat itu menjadi ular dan) Musa melihatnya bergerak-gerak seperti seekor ular yang gesit, larilah dia berbalik ke belakang tanpa menoleh. ”Wahai Musa! Jangan takut! Sesungguhnya di hadapan-Ku, para rasul tidak perlu takut. kecuali orang yang berlaku zhalim yang kemudian mengubah (dirinya) dengan kebaikan setelah kejahatan (bertobat); maka sungguh, Aku Maha Pengampun, Maha Penyayang."
Sedangkan dalam QS. Al-Qashas: [28]: 31
وَأَنۡ أَلۡقِ عَصَاكَۚ فَلَمَّا رَءَاهَا تَهۡتَزُّ كَأَنَّهَا جَآنّٞ وَلَّىٰ مُدۡبِرٗا وَلَمۡ يُعَقِّبۡۚ يَٰمُوسَىٰٓ أَقۡبِلۡ وَلَا تَخَفۡۖ إِنَّكَ مِنَ ٱلۡأٓمِنِينَ ٣١
"Dan lemparkanlah tongkatmu.” Maka ketika dia (Musa) melihatnya bergerak-gerak seakan-akan seekor ular yang (gesit), dia lari berbalik ke belakang tanpamenoleh. (Allah berfirman), “Wahai Musa! Kemarilah dan jangan takut. Sesungguhnya engkau termasuk orang yang aman."
Dari dua contoh kisah di atas terdapat hikmah seperti yang di jelaskan oleh Manna' Khalil al-Qattan dalam kitabnya Mabahits Fi ‘Ulumul Qur'an bahwa hikmah pengulanngan kisah ialah sebagai berikut[4]:
1.      Menjelaskan Ke-balaghah-an Al-Qur'an dalam Tingkat Paling Tinggi.
Di antara keistimewaan balaghah adalah mengungkapkan sebuah makna dalam berbagai bentuk yang berbeda. Kisah yang berulang dengan uslub (gaya bahasa) yang berbeda satu dengan yang lain serta dituangkan dalam pola yang berlainan pula, sehingga tidak membuat orang merasa bosan karenanya bahkan dapat menambah ke dalam jiwanya makna baru yang tidak didapatkan saat membacanya di tempat lain.
2.      Kehebatan Mu'jizat Al-Qur'an.
Al-Qur'an mengemukakan sesuatu makna dalam berbagai bentuk susunan kalimat di mana salah satu bentuk tidak dapat ditandingi oleh sastrawan Arab. Hal itu merupakan tantangan yang luar biasa dan bukti bahwa al-Qur'an itu datangnya dari Allah.
Pengulangan kisah tersebut meskipun dalam episode kehidupan Nabi Musa yang sama akan tetapi berbeda dalam hal pemaparan. Kisah pertama menjelaskan bahwa Nabi Musa ‘alaihis salam berada di tempat yang diberkahi sedangkan kisah kedua menjelaskan bahwa diberkahi orang-orang di tempat itu. Kisah ini terdapat di surat yang berbeda namun kisahnya di tempat yang sama kejadiannya pun sama hanya saja gaya bahasanya yang berbeda.
3.      Memberikan Perhatian Besar Terhadap Kisah Tersebut agar Pesan-Pesannya Lebih Mantap dan Melekat Dalam Jiwa
Hal ini karena pengulangan merupakan salah satu cara pengukuhan dan indikasi betapa besarnya perhatian. Misalnya kisah Nabi Musa 'alaihis salam dengan Fir'aun. Kisah yang menggambarkan secara sempurna pergulatan sengit antara kebenaran dengan kebatilan. Sekalipun kisah itu sering diulang-ulang tetapi pengulangannya tidak pernah terjadi dalam sebuah surat.
4.       Perbedaan Daerah yang Menjadi Tujuan Kisah
Sebagian makna-maknanya dijelaskan di satu tempat karena hanya itulah yang diperlukan sedangkan makna-maknanya dijelaskan di tempat lain sesuai dengan tuntutan keadaan. Kisah pertama menjelaskan perintah Allah kepada Nabi Musa ‘alaihis salam agar jangan takut dan pada kisah kedua di jelaskan bahwa Nabi Musa ‘alaihis salam jangan takut karena ia termasuk orang yang aman. Dua kisah ini di ceritakan di ayat yang berbeda tetapi tujuannya sama.

Relevansi Qashash dan Sejarah


Seperti yang telah diketahui di atas bahwa kisah-kisah dalam al-Qur’an itu memiliki realitas yang diyakini kebenarannya, termasuk peristiwa yang ada di dalamnya. Ia bagian dari ayat-ayat yang diturunkan dari sisi Yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana. Sebagai kitab suci, al-Qur’an bukanlah kitab sejarah, sehingga tidaklah adil jika al-Qur’an dianggap mandul hanya karena kisah-kisah yang ada didalamnya tidak dipaparkan secara gamblang. Akan tetapi berbeda dengan cerita fiksi, kisah-kisah tersebut tidak didasarkan pada khayalan yang jauh dari realitas.
Kisah-kisah dalam al-Qur’an dimaksudkan sebagai sarana untuk mewujudkan tujuannya yang asli, yaitu tujuan keagamaan yang meriwayatkan adanya kebenaran, pelajaran dan peringatan. Al-Qur’an tidak menceritakan kejadian dan peristiwa secara kronologis dan tidak memaparkannya secara terperinci. Hal ini dimaksudkan sebagai peringatan tentang hukum Allah SWT dalam kehidupan sosial serta pengaruh baik dan buruk dalam kehidupan manusia.
Sebagian kisah dalam al-Qur’an merupakan petikan sejarah yang bukan berarti menyalahi sejarah, karena pengetahuan sejarah adalah sangat kabur dan penemuan-penemuan arkeologi sangat sedikit untuk mengungkapkan kisah dalam al-Qur’an dalam kerangka pengetahuan modern.
Kisah tidak bermaksud mengajarkan peristiwa-peristiwa sejarah seperti halnya buku-buku sejarah. Yang sangat dipentingkan oleh kisah al-Qur’an adalah memberi nasehat, bukan mensejarahkan perorangan atau golongan bangsa-bangsa. Relevansi kisah dengan sejarah adalah sebagai berikut:
1.      Kisah-kisah dalam al-Qur’an itu memiliki realitas yang diyakini kebenarannya, termasuk peristiwa yang ada di dalamnya. Ia bagian dari ayat-ayat yang diturunkan dari sisi Yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana.
2.      Kis ah-kisah dalam al-Qur’an dimaksudkan sebagai sarana untuk mewujudkan tujuannya yang asli, yaitu tujuan keagamaan yang meriwayatkan adanya kebenaran, pelajaran dan peringatan.
3   Al-Qur’an tidak menceritakan kejadian dan peristiwa secara kronologis dan tidak memaparkannya secara terperinci. Hal ini dimaksudkan sebagai peringatan tentang hukum Allah SWT dalam kehidupan sosial serta pengaruh baik dan buruk dalam kehidupan manusia.
4.      Sebagian kisah dalam al-Qur’an merupakan petikan sejarah yang bukan berarti menyalahi sejarah, karena pengetahuan sejarah adalah sangat kabur dan penemuan-penemuan arkeologi sangat sedikit untuk mengungkapkan kisah dalam al-Qur’an dalam kerangka pengetahuan modern.

Urgensi Qashash Al-Qur’an


Pembahasan berikut ini berkaitan tentang urgensi dari qashash al- Qur’an atau kisah-kisah yang terdapat dalam al- Qur’an. Urgensi berarti keharusan yang mendesak atau hal yang bersifat sangat penting.[5] Urgensi qashash al-Qur’an berarti hal-hal penting atau pentingnya kisah-kisah pada al-Qur’an. Berikut ini merupakan urgensi kisah-kisah dalam al- Qur’an :
1.      Kisah- Kisah dalam Al-Qur’an Merupakan Kisah yang Paling Benar

Kebenaran suatu kisah adalah metode yang yang sangat menyenangkan dalam menumbuhkan rasa keimanan. Kisah-kisah dalam al-Qur’an merupakan kisah yang paling benar. Seperti yang telah Allah tegaskan dalam firmanya:
نَّحۡنُ نَقُصُّ عَلَيۡكَ نَبَأَهُم بِٱلۡحَقِّۚ…. ١٣
Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar”. (Al- Kahfi [18]:13).

Kisah dalam al-Qur’an bukan merupakan sesuatu yang bersifat khayalan.  Kisah al-Qur’an tidak bisa dianalogikan dengan kisah kesusastraan yang lain, karena semua kisah pada al-Qur’an merupakan fakta nyata dan tidak bersifat tashawwur (pemikiran/imajinasi ). Hal ini selaras dengan perkataan Manna al-Qaththan, seorang muslim yang benar adalah yang mengimani bahwa al-Qur’an itu Kalamullah. Dia suci dari penggambaran seni yang tidak perduli dengan rutinitas sejarah. Kisah- kisah al-Qur’an itu semuanya mengandung fakta sejarah yang yang dilukiskan dengan indah dan menarik.[6] Juga firman-Nya yang berbunyi:
إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ ٱلۡقَصَصُ ٱلۡحَقُّۚ ….٦٢
Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar, (Ali Imran [3]:62).
Allah Subhanahu wa Ta’ala suci dari sifat dusta sehingga Allah tidak mungkin mengisahkan kisah-kisah yang tidak terjadi atas fiktif. Dan Allah Ta’ala mengisahkan satu kisah, berarti kisah itu benar dan diceritakan berdasarkan ilmu.
1.      Kisah- kisah dalam Al- Qur’an menjelaskan asas-asas dakwah menuju ketauhidan dan menjelaskan pokok syariat yang dibawa Nabi
وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِيٓ إِلَيۡهِ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ ٢٥
"Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu melainkan kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah olehmu sekalianakan Aku". (Al-Anbiya [21]: 25 ).

2.      Kisah- kisah dalam al- Qur’an menjelaskan peneguhan hati terhadap Rasul SAW serta memperkuat mukmin akan menangnya kebenaran dan para pendukungnya serta hancurnya kebatilan dan para pendukungnya. Karena pada hakikatnya sunnatullah akan selalu menolong para Anbiya dan menghancurkan para pendusta.[7]
3.      Kisah-kisah dalam al-Qur’an menjelaskan pembenaran para Nabi terdahulu, penghidupkan kenangan terhadap mereka serta pengabadian jejak dan peninggalannya, juga penampilan kebenaran Muhammad dalam dakwahnya dengan apa yang diberitakannya tentang hal-ihwal orang-orang terdahulu di sepanjang kurun dan generasi.
4.      Kisah-kisah dalam al-Qur’an menjelaskan pengajaran fadhilah-fadhilah akhlaq dari segi contoh perbuatan yang terdapat dalam kisah al-Qur’an, pelarangan akan sifat  keji dan mungkar, serta penjagaan manusia akan perbuatan dosa.
5.      Kisah-kisah dalam al-Qur’an menjelaskan penyingkapan kebohongan ahli kitab dengan cara membeberkan keterangan yang semula mereka sembunyikan, kemudian menentang mereka dengan menggunakan ajaran kitab mereka sendiri yang masih asli, yaitu sebelum kitab itu diubah dan diganti.
6.      Kisah termasuk salah satu bentuk sastra yang dapat menarik perhatian para pendengar mempengaruhi jiwa. Firman Allah:
“Sesungguhnya pada kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal.” (Yusuf [12]:111 ).
7.        Kisah-kisah dalam al-Qur’an menjelaskan akan kebaikan atau kecintaan untuk beramal baik di dunia dan nikmat yang tetap di akhirat bagi mukmin yang taat, dan menjauhi amarah Allah serta azabnya di dunia dan akhirat bagi pelaku maksiat.



[1] Shalah al-Khalidy. Kisah-Kisah Al-Qur'an. (Jakarta: Gema Insani, 1999), h. 21-22
[2] Manna Khalil al-Qattan. Mabahits fii 'Ulumul Qur'an. (Mekkah: Darul Ilmi wal Iman), h. 300
[3] Shalah al-Khalidy, h. 17
[4] Manna Khalil al-Qattan, h. 307-308
[5]KBBI, “makna urgensi”, diakses dari https://www.google.com/amp/s/kbbi.web.id/urgensi.html pada tanggal 15 Maret 2019 pukul 09.36.
[6]Manna al-Qaththan, h.. 391
[7]Fadhl Hasan Abbas. 2010. Qishashul Qur’anil Karim. (Darunnafais ), h. 44